Sabtu, 29 Januari 2011

Janji Motret Bukan dari Kelas Festival

Sebagai pengunjung setia pameran seni yang akhir-akhir ini banyak dilangsungkan, lama-lama saya jadi pintar berkomentar: “Bagus”, “Luar Biasa”, “Dahsyat”. Kalau Anda pikir saya mengatakan itu obral, mungkin iya, tapi bagaimanapun saya mudah terhibur.

Saya menolak memberi kritik kepada sebuah karya seni. Sepanjang saya mengalami, lahirnya sebuah karya melewati masa inkubasi ide, proses kreatif dan keahlian pembuatannya. Kita tidak bisa tiba-tiba datang dan bilang ini ga bagus.

Leluconnya adalah akhirnya seni bercabang-cabang bagi menampung hal ini, sebuah lukisan bisa disebut surealis, naturalis atau abstrak; sebuah karya kriya bisa dianggap murni, ragam hias atau dekoratif; sebuah ‘bukan apa-apa’ disebut sebuah kontemporer, pesannya sebetulnya: ada standar-standar keindahan berlaku.

Tapi saya serius, sebuah karya langsung terkunci jika kita masuk dengan semangat menggugat. Jadi saya selalu datang serta merta gembira untuk setiap karya yang dipajang dan selamanya selalu berhasil menikmati keindahannya seutuhnya, atau mungkin hanya dari satu sudut, atau dari belakang gadis yang berdiri mengamati karya tersebut.

Pameran Fotografi Gelar Karya Karena Janji

Sekarang kita meloncat ke hal lain: Pameran Fotografi. Fotografi sebuah seni yang lain, seni menangkap moment dengan kamera bersensor CMOS 2/3. Senimannya, kita sudah sepakat menyebut mereka fotografer, karyanya adalah sebuah foto. Ukuran penilaian karyanya tegas: 1.Ide, 2.Komposisi dan 3.Ketepatan Tehnik. Dengan standar yang jelas karya (seni) foto boleh dinilai sekaligus boleh dikritisi.

Pada acara pameran fotografi: Gelar Karya Karena Janji yang diselenggarakan partisipan workshop pemotretan panggung Bandung World Jazz Festival, saya diundang sebagai penyuka foto, sebenarnya lebih kredibel sebagai penyuka kopi, enaknya pameran ini diselenggarakan di tempat ngopi favorit saya: Kedai Kopi Mata Angin jalan Bengawan Bandung, saya bisa menikmati dua kesenangan sekaligus, pamerannya dan kopinya.

Gelar Karya Karena Janji mengetengahkan foto-foto dari panggung Bandung World Jazz Festival yang diselenggarakan pada bulan November 2010 lalu. Selain foto-foto kelas (tiket) festival, artinya diambil persis dari muka panggung pada saat performer main, lebih menarik bagi saya adalah foto-foto belakang panggung (menggunakan istilah dari pengantarnya: 'Behind The Scene'). Kita semua tahu, sayap sisi panggung, belakang layar pertunjukan dan ruang rias artis adalah wilayah steril, ini sudah harga mati.

Pada gelaran-gelaran musik yang berkelas, jangankan memotret di area artis, duduk dengan tiket termahal di tanganpun biasanya diikuti dengan larangan memotret selama pertunjukan berlangsung, padahal tidak sedikit yang masuk ke gedung pertunjukan sebagai penikmat musik sekaligus pemotret amatir. Jadi mendapat kesempatan mengambil moment di wilayah ini pastilah istimewa, baik bagi si fotografer, maupun untuk penikmat karya fotografi.

Beberapa dari karya yang dipajang dalam pameran ini adalah foto-foto di belakang panggung, potret Balawan (karya Nunu) dengan gitarnya di ruang tunggu artis (atau sebuah kelas kuliah sore) jelas eksklusif secara moment dan nyeni secara visual, foto seorang laki-laki (karya Jovy A. Akbar) bertopi laken, berjaket, merokok, bersandar di partisi menunggu giliran tampil, sangat kuat, Bahkan seandainya foto ini muncul sendiri tanpa foto-foto lainnya, saya bakal langsung tahu ini seorang musisi yang sedang menunggu naik panggung.

Foto break out lainnya mungkin foto serial sepatu karya Tisna, Tisna memajang tiga foto kaki jenjang sebagai pembuka pameran di teras, secara visual enak dilihat, tetapi itu bisa kaki siapa saja, bisa di acara apa saja, bahkan foto titlenya tidak menulis nama modelnya; foto berikutnya di dalam ruang pamer, masih dalam seri ini: foto sepatu (gitaris) menekan pedal efek, dua hal dapat saya katakan, pertama: secara visual jelas ini lebih ekspresif, kedua: jika Tisna sama-sama berada di atas panggung, Tisna meletakkan kameranya di lantai atau tiarap sekalian.

Foto aksi panggung banyak namun hanya ketekunan memperhatikanlah yang memperoleh hasil hebat, foto yang paling impresif adalah foto pemain bass guitar yang menjepit stang gitar dengan kaki kirinya, terlepas bunyi apa yang muncul, moment ini luarbiasa dan keberuntungan memang sedang berpihak pada si fotografer yang berhasil mengambil sudut ini tepat dari seharusnya.

Karya Workshop Kaya Eksplorasi

Kopi saya disajikan, kopi mandailing dari peladangan Natal yang harum dan cocok untuk sore berhujan. Foto-foto lainnya, semua memenuhi janjinya dari awal sebagai pekerjaan karya (workshop) memanfaatkan panggung dengan maksimal, mengekplorasi ide, komposisi dan tehnik sepertinya sebagai usaha keras untuk keluar dari langgam potretan kelas (tiket) festival.

Saya mentandemkan beberapa jepretan saya dengan foto-foto yang dipamerkan, tidak serius iya tetapi mungkin dari sana kita mengkompromikan satu hal lagi mengenai fotografi panggung: utamakan kesenangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar